Kajian Uji Sensitivitas Dan Spesifisitas Rapid Diagnostic Test (RDT) Covid-19 Di Kabupaten Gunungkidul


Deteksi laboratorium memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian COVID-19. WHO merekomendasikan deteksi Laboratorium dilakukan menggunakan metode molekuler. Namun demikian, oleh karena perkembangan penularan COVID-19 yang begitu cepat dan keterbatasan ketersediaan reagen serta kemampuan laboratorium dalam melakukan tes molekuler, telah banyak beredar tes cepat (rapid diagnostic test)/RDT untuk deteksi COVID-19. Dalam daftar rekomendasi RDT yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, setidaknya terdapat 20 merk RDT antibodi yang direkomendasikan dan 155 merk alternatif. (1)
Dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (Covid 19), dinyatakan bahwa RDT dapat digunakan untuk penanganan Orang Tanpa Gejala (OTG)/kasus kontak dari pasien terkonfirmasi COVID-19 dan deteksi Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) pada wilayah yang tidak memiliki fasilitas RT-PCR atau tidak memiliki persediaan VTM. (2) Pemakaian RDT ini sifatnya adalah skrining awal, dan setelahnya perlu dilakukan konfirmasi dengan RT-PCR.
Sebagai salah satu Laboratorium Rujukan COVID-19 di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta telah memeriksa lebih dari 10.000 sampel usap naso/orofaring selama bulan April - Juni 2020, dengan lebih dari 2.000 sampel adalah untuk konfirmasi hasil RDT reaktif dari berbagai merk RDT. Kurang dari 10% dari sampel tersebut terkonfirmasi sebagai kasus Covid 19 berdasarkan pemeriksaan PCR. Sampel konfirmasi RDT yang diterima BBTKLPP Yogyakarta dari Dinas Kesehatan kota/kabupaten merupakan sampel yang diambil dalam kegiatan penelusuran kontak dan skrining pada populasi berisiko tinggi. Pada kegiatan tersebut, anggota masyarakat dengan hasil RDT reaktif diambil sampel usap naso/orofaring-nya untuk konfirmasi, dan selama menunggu hasil konfirmasi, diberlakukan karantina. Mekanisme dan durasi karantina yang diberlakukan terhadap individu dengan hasil RDT reaktif bervariasi, tergantung pada masing-masing kabupaten.
Sebagai alat skrining bagi populasi berisiko, penggunaan RDT menjadi penentu segmen dari populasi berisiko yang akan diperiksa dengan RT-PCR. Dengan demikian, dibutuhkan RDT dengan sensitivitas yang tinggi agar hasil penjaringan populasi berisiko mendekati nilai yang sebenarnya. Untuk itu, BBTKLPP Yogyakarta bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, melaksanakan kajian sensitivitas dan spesifisitas RDT yang digunakan pada penelusuran kontak. Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kajian dilaksanakan terhadap populasi kontak dari dua kasus konfirmasi Covid 19 yang berprofesi sebagai pedagang ikan dan bertempat tinggal di Desa Bejiharjo, Kec. Karangmojo, Kab. Gunungkidul. Pada tanggal 11 Juni 2020, dilakukan pemeriksaan RDT terhadap 176 responden, dilanjutkan dengan pengambilan sampel usap naso/orofaring. Pengambilan usap naso/orofaring kedua dilakukan pada hari berikutnya. Pemeriksaan usap dilaksanakan di Laboratorium Covid BBTKLPP Yogyakarta dengan qRT-PCR. Pada proses pemeriksaan ini digunakan RDT, VTM, tangkai usap, metode, dan reagen ekstraksi serta reagen PCR yang sama. Pengambilan dilakukan oleh petugas laboratorium yang sudah terlatih.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, diketahui bahwa sensitivitas RDT adalah 20% dengan spesifisitas 92,4%. Ini berarti bahwa RDT hanya bisa mendeteksi 1 dari 5 sampel yang dikonfirmasi positif oleh PCR, sehingga ada proporsi cukup besar dari orang yang sebenarnya terinfeksi SARSCov-2, yang tidak terdeteksi, jika RDT digunakan sebagai alat skrining pada penelusuran kasus. Mengingat kasus konfirmasi COVID-19 bisa menjadi sumber penularan di populasi, kondisi ini sangat tidak diinginkan.
Nilai prediksi positif RDT adalah 7,14% dan nilai prediksi negatif 97,53%. Hal ini berarti saat seseorang dideteksi sebagai kasus reaktif oleh RDT, sebenarnya kemungkinan bahwa orang tersebut benar-benar telah terinfeksi SARSCov-2 kurang dari 1:10. Kemungkinan positif tersebut begitu kecil, padahal kasus yang terdeteksi reaktif pada pemeriksaan COVID-19 mendapatkan beban psikologis dan sosial yang cukup tinggi. Selain itu, penggunaan RDT dengan nilai prediksi positif yang rendah pada penelusuran kasus menyebabkan tingginya beban ekonomi yang berkaitan upaya karantina kasus reaktif, terutama di kabupaten yang memiliki fasilitas karantina khusus bagi kasus RDT reaktif.
Beberapa kondisi yang berkaitan dengan pengambilan dan pemeriksaan spesimen seperti waktu pelaksanaan RDT dan pengambilan spesimen usap, ketepatan dalam pengambilan spesimen usap, dan sensitivitas metode referensi yang digunakan dapat mempengaruhi hasil kajian ini. Walaupun hal tersebut menjadi keterbatasan dalam kajian ini, hasil kajian yang menunjukkan sensitivitas dan nilai prediksi positif RDT yang rendah dalam penelusuran kasus tidak dapat diabaikan.
Penggunaan RDT dengan sensitivitas dan nilai prediksi positif rendah sebagai alat skrining massal akan menimbulkan rasa aman palsu, meresahkan masyarakat, dan membebani anggaran pemerintah daerah. WHO membatasi penggunaan RDT hanya untuk penelitian yang berkaitan dengan pengembangan fungsi RDT dalam surveilans dan epidemiologi penyakit. (3) Strategi pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan oleh WHO bagi daerah-daerah dengan transmisi lokal namun memiliki kemampuan deteksi laboratorium (deteksi molekuler) terbatas adalah dengan memprioritaskan pemeriksaan laboratorium (deteksi molekuler) secara dini dan pemeriksaan pada populasi rentan dan populasi berisiko, di antaranya penderita gangguan pernafasan dan tenaga medis di rumah sakit dan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya penularan di lingkungan tertutup yang padat. (4)
Berdasarkan kajian ini, direkomendasikan agar dalam kegiatan penelusuran kontak dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan metode molekuler. Selain itu, perluasan pemeriksaan laboratorium dengan metode molekuler disarankan untuk dilakukan pada populasi khusus yang berisiko, seperti tenaga kesehatan, pedagang di pasar yang masih aktif, kantor-kantor, dan kegiatan-kegiatan lain di tempat tertutup yang masih aktif berjalan selama pandemi COVID-19 ini berlangsung, sesuai dengan prioritas. Penggunaan RDT untuk skrining bisa dilakukan apabila sensitivitas dan spesifisitasnya sudah diuji dan memenuhi kriteria yang diharapkan.
Daftar Pustaka
1. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19. 2020. Daftar Rekomendasi RDT Antibodi Covid-19 Update 28 April 2020. https://covid19.go.id/p/protokol?page=3 (diakses 14 Juni 2020).
2. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19). Revisi ke-4. Jakarta: Dirjen P2P.
3. World Health Organization. 2020. Advice on the use of point-of-care immunodiagnostic tests for COVID-19. https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/advice-on-the-use-of-point-of-care-immunodiagnostic-tests-for-covid-19 (diakses 14 Juni 2020).
4. World Health Organization. 2020. Laboratory testing strategy recommendations for COVID-19: interim guidance. https://www.who.int/publications/i/item/laboratory-testing-strategy-recommendations-for-covid-19-interim-guidance (diakses 14 Juni 2020).